tes
tes
cw // m-preg
“Aduh ada apa ya disuruh nunggu, kayak mau interview aja.” Raga langsung berceletuk sembari menunggu kedua orang tuanya berunding di dalam kamar sana.
“Fix banget ini berunding kenaikan uang jajan,” kata Senja yang sudah bosan menunggu.
Cerita singkat kenapa mereka harus menunggu di ruang tamu kurang lebih 15 menit padahal dari pagi mereka sudah tidak di rumah. Pas triplets sudah lengkap dan menunggu apa yang akan di kata Jaka, cowok Taurus itu malah men-delay semua-muanya.
Jaka langsung menarik Randu yang sudah anteng ke kamar mereka yang menyebabkan anak anak mereka menunggu lebih lama.
“Mas, excited banget lo. Kenapa?” tanya Raga ke kembaran pertamanya yang terlihat tidak bisa diam.
“Raut muka gue emang menunjukan ke-excited-an apa?”
“Jujur, gak ada bedanya sih. Excited gak excited sama aja, kayak yaaa,” Senja menujukan gestur lambaian tangan.
“Apaan anjrit yaaa?”
“Ah sok bego kamu mas.” Raga mengikuti gestur Senja. Yang masih tidak di mengerti Jiwa.
Tidak lama kemudian Jaka datang dengan keadaan... keringat dingin?
Nggak, bukan keringatan seperti orang baru berlari 5 kilometer tanpa henti, lebih ke orang deg-degan? Jiwa gak paham.
“Nunggu lama ya kids? Sorry ya, urgent soalnya.” Jaka langsung duduk di kursi paling ujung, kursi kebesaran kalau kata Raga.
“Yaudah langsung aja ya,” kata Jaka memulai percakapan yang... gak mulai-mulai alias Raga pengen banget ngegebrak meja biar rame.
“Lama banget ya pak mohon maaf, bisa dipercepat gak nih anak-anaknya udah minta makan semua,” kata Senja mencairkan suasana, karena emang sesunyi itu. Tumben banget melihat pemandang di rumah Sadewata sunyi kayak orang lagi ujian.
“Lagian sunyi banget deh kayak rumah hantu,” celetuk Raga.
“Bukannya rumah hantu rame?” Tanya Jiwa dengan polos. Saking polosnya sampai sampai mungkin Jiwa percaya kalau Indonesia punya dinosaurus bernama raurus.
Randu angkat satu jarinya, “diem dulu ya, bikin suanana tegang.” Dan semuanya langsung diem sunyi yang mana bikin Jaka lebih deg degan lagi.
“Oke,” Jaka hembusin nafasnya sebentar, “untuk Jiwa dan Senja, selamat, kalian akan punya adek lagi. Untuk Raga, selamat akhirnya jadi kakak juga ya.”
Hening.
Definisi sunyi yang beneran gak ada suara kecuali motor di depan rumah dan tukang bakso yang sering lewat.
Tiba-tiba ada suara asing yang teriak, “Gojek!”
“Oh sorry, gojek aku udah nyampe. Lanjutin aja tegangnya. Punten kak.” Pelakunya siapa lagi kalau bukan calon mantan bungsu Sadewata.
“Ga, gue gampar ya kalau pesenan gua gak ada!” teriak Senja, yang dibarengi setuju dari mulut Jiwa.
“Ya Tuhan sempet sempetnya ya kalian ngegojek?” Randu beneran takjub sama kelakuan anaknya. Dan anaknya malah mau nambah? Ya Tuhan, kuatkan lah mental Randu.
“Kelamaan nunggu kalian, aus.”
Gak lama Raga balik dengan bawaan di tangannya. “Ayo lanjut lagi tegangnya, aku udah gak aus.”
“Jadi... gimana tanggapan kalian?” Kalau belum ada reaksi yang pas, Jaka gak bakal tidur semaleman.
“Ya gak gimana-gimana lah.” Jiwa sebagai kemabran pertama angkat suara.
“Kalau aku mah, ya gapapa. Kenapa juga harus kenapa-napa?” Kali ini Senja yang angkat suara.
“Ya, seperti dua suara sebelumnya, aku juga biasa aja. Toh itu bayi udah ada kan? Kalau aku gak setuju gak mungkin dong simsalabim ilang jadi merpati.” Jawaban Raga memang yang paling panjang, paling gak bermutu juga lagi.
“Itu yang jadi merpati mah mawar gak sih?”
“Udah? Itu aja reaksi kalian? Gak seru banget. Yang heboh gebrak meja gitu dong.” Randu malah request.
“Ran, kamu mah, bisa gak jangan aneh-aneh dulu? Jantung aku kaya pindah ke tenggorokan loh ini.”
“Lagian ayah lebay banget. Lagian kenapa deg-degan deh, kayak mau siding skripsi aja.” Jiwa ngeliatin ayahnya aneh. Ya walau Jaka emang aneh dari awal.
“Ya gimana, kalian udah kepala dua semua tiba-tiba punya adek apa gak shock? Ayah di umur kalian tambah 3 aja udah punya anak, masa kalian punya adek?”
“Gak udah adu nasib deh Yah, mending jodohin aku aja biar nasib kita sama.” Senja langsung protes.
“Coba Ran telepon Atha, mau besanan gak dia sama kita.” Jaka nyuruh Randu setelah bercanda. Dia beneran udah ada niatan kok jodohin anaknya sama anak Atha, walau tanpa di jodohin pun mereka udah nikah dengan sendirinya sih.
“Seru banget sih liat orang adu nasib.”
“Ran, itu yang kamu chat beneran?” Jaka langsung masuk tanpa permisi (memang tidak perlu permisi karena itu juga kamarnya) dan langsung mengejutkan Randu yang lagi santai seolah lupa apa yang sudah dia ketik semenit lalu.
Randu hanya ngeliat Jaka dengan tatapan aneh seolah berkata Yakan salah lo? Kok situ panik, Bro?
“Ih muka kamu gak usah gitu, aku berasa buronan abis melakukan mutilasi anjir.”
Randu diam sebentar sebelum ngomong, “Kamu gak usah banyak omong, mending kamu pikir gimana cara ngomong ke triplets. Incase kamu tiba-tiba gak bisa berkata-kata mending bikin ppt sekalian.”
“Dih, dipikir aku mau presentasi.” Abis itu Jaka pergi aja gitu, kagetnya cuma sebentar dan malah Randu yang diambekin.
“Sinting.”
Yah, setidaknya itu yang Randu tau tentang suaminya sekarang ini, ngambekan, childish dan lain-lain.
Tapi tanpa Randu tau, Jakanya juga lagi dilanda kebingungan sekaligus ketakutan yang amat besar. Bukan, bukan tentang bagaimana cara ngasih tau triplets mereka akan punya adik di umur dua puluh atau reaksi orang sekitar.
Jaka lebih takut melihat Randu kesakitan sama seperti dua puluh tahun yang lalu saat melahirkan triplets.
Mungkin saat lahiran triplets Randu lebih terlihat tenang, tapi saat itu Jaka bukan mengenal Randu kemarin sore. Jaka sudah lumayan lama memperhatikan sikap Randu di kampus ataupun arena balap mereka.
Randunya kesakitan, sakit yang luar biasa sampai sampai Jaka merinding ngebayanginnya.
Jaka gak mau Randunya kesakitan seperti yang lalu, dan ketakutannya Jaka yang ini masih dia pendam selama bertahun tahun.
Jaka gak masalah ada anggota baru, bagus malah ada bocah pemakan bubur generasi baru. Tapi yah… cuma satu yang masih ngeganjel dibenak Jaka.
Tapi kalau udah jadi, mau diapain? Harus dijalanin dengan iya atau tidak sekalipun.
Setelah hampir satu jam Riga berdiam diri di café dengan tujuan tidak jelas, akhirnya ia bangkit dari duduknya dengan malas.
“Ini perasaan gue doang atau si anjing tadi ngikutin gue,” gumam Riga sangat kecil sampai hanya dia saja yang bisa mendengarnya.
“Kalau gue balik badan, ini anjing pasti makin ngejar gue. Tapi gue ngeliat orang mulai ghibahin gue.”
Setelah berdiam dan memutuskan, akhirnya Riga berbalik badan. “Tuh kan si anjing beneran ngikutin gue.”
Dengan begitu, Riga iring anjing tersebut untuk kepinggir jalan agar tidak menggangu pejalan atau pesepeda. Dan hebatnya, anjing tersebut mengikuti arahannya.
“Halo puppy, kenapa kamu ngikutin aku?” tanya Riga sambil berlutut. Yang jelas tidak menjawab dengan bahasa manusia, hanya Woof! Woof! Tidak jelas
“Kamu mau ikut aku?” Pertanyaa Riga kali juga hanya mendapatkan woof! pertanda anjing tersebut mengiyakan pertanyaan Riga.
Riga tidak menyemburkan pertanyaan lagi, tapi dia mengangkat kepala untuk melihat toko-toko sekitar. “Tunggu aku sebentar ya anjing.”
Dan si anjing —atau Nordan dalam bentuk lain— hanya bisa menatap sedih Riga. Harapan untuk tertampungnya sudah pupus.
Tapi tidak lama, Riga menghampiri si anjing putih dengan sekantong plastik di tangannya.
“Nah, kamu makan ini aja yaa.” Riga lantas mengeluarkan isinya yang ternyata adalah daging-daging siap masak.
Nordan hanya memandangi Riga yang sedang menyiapkan makannya, tapi apa semua makanan itu akan masuk? Kalau di café tadi Riga memberi yang matang, dan sekarang yang mentah.
“Nah, kamu stay di sini ya, aku pulang dulu. Babai putih!” pamit Riga setelah selesai merapihkan semuanya.
Nordan hanya bisa melihat punggung Riga menjauh, dan semakin mengecil di keramaian. Akhirnya Nordan memilih akan memakan makanan itu lalu mengejar Riga.
Setelah selesai, Nordan lantas meninggalkan tempat makan sementaranya itu lalu mengikuti bau khas Riga. Dia sendiri tidak yakin gimana bisa mengenali bau tersebut, tapi anjing punya indra penciuman yang lebih tajam kan? Di tambah dia sendiri pernah mengunjungi kediaman Riga –tidak usah di tanya bagaimana caranya, dia sendiri engan membahas hal memalukan itu.
Mungkin sekarang hari keberungan Nordan atau Dewi Fortuna sedang berpihaknya, tetapi bersyukur Nordan sampai tepat waktu di mana saat Riga akan membuka pintu apart.
Woof! teriak Nordan yang mengundang atensi semua orang yang berlalu-lalang. Well, malu sedikit tapi itu bukan jadi masalah karena Nordan sekarang sedang menjadi seekor anjing. Yang jadi masalah adalah Riga yang sudah masuk tanpa memperdulikan panggilan.
Berterimakasih lah dengan satpam yang menyadari tatapan mata anjing putih itu jatuh ke punggung Riga, dengan begitu cowok aries tersebut nyadari dan menghampirinya lagi.
“Itu a, anjingnya ngikutin terus.”
“ Oh iya, terima kasih Kang.”
Setelahnya si satpam tersebut mengucapkan sama-sama lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Riga bawa ke pinggir lagi anjing itu.
“Kamu kenapa ngikutin aku?” tanya Riga. “Makanannya kurang atau gimana nih?” Mungkin Riga sudah di pandang gila oleh sekitar karena sedang berbicara panjang lebar kepada seekor anjing.
Nordan tidak menjawab dengan ngong-ngongan lagi, dia hanya memandangi Riga yang berlutut di depannya dengan tatapan sedih minta di kasihani.
“Kamu mau ikut aku?” kali ini Nordan menjawab dengan woof! yang lebih halus dan menggoyangkan ekornya ke kanan ke kiri pertanda senang.
Tapi ekspresi Riga tidak sebahagia Nordan, dia terlihat mengerutkan alisnya –bingung atau sedih, Nordan harap pilihan pertama yang ada di pikiran cowok itu.
“Eh ini kita didiemin si bocil?” Jiwa udah males aja ngeliat Jio munggungin dia dan saudaranya.
Raga ngangguk, “Adeknya juga ikutan lagi, berasa baby sitter beneran anjir.”
“Bukannya bagus? Kita gak perlu ada drama aneh aneh?” Jiwa dan Raga langsung mikir; iya juga ya?
Tapi mereka langsung disadarkan dengan Randu yang udah bawa koper, Jaka di belakangnya cuma senyum senyum gak jelas.
Randu berlutut, menyamakan tingginya dengan Jio yang lagi main, “Jio, Cei, om Randu sama om Jaka pergi dulu yaa?”
Jio miringin kepalanya, “Kemana?” penasaran dia tuh.
“Ke rumah ayahnya om Jaka.” Jaka gak sepenuhnya bohong kok di chat kemarin, cuma tripletsnya aja yang gak percayaan.
Jio cuma nanggapin anggukan singkat, abis itu lanjut focus ke mainan di depannya.
Randu langsung berdiri terus ngeremas pelan bahu Jaka, “Kenapa?”
“Sedih juga di kacangin anak kecil.”
Setelah Randu dan Jaka pergi, rumah itu jadi sepi walau ada 5 orang di dalamnya.
“Lo pada nyium bau gak sih?” Jiwa orang pertama yang sadar kalau ada bau bau kurang mengenakkan di sekitar mereka.
“Bau bunga bangke anjir, lo ya kentut Ja?!” Tuduh Raga ke Senja yang sebenarnya dari tadi gak ngapa-ngapain.
“Kurang ajar lo agan agan olshop!”
Jio jalan pelan mendekati Jiwa yang dari tadi hanya ngeliatin dua kembarannya debat. Dia ngegoyangin pelan tangan Jiwa, “kak Ji~ Cei baby pup.”
“HAH?!” Yang kaget bukan Jiwa sebagai orang yang di kasih tau, melainkan Raga serta Senja yang tidak sengaja mendengar berita besar itu.
“Gue gak bisa ganti popok bayi anjir!”
“Ya sama! Orang jadwal kita mirip terus, lo apa pernah ngeliat gue les ganti popok bayi?!” Jiwa membalas tak kalah sengit omongan adik kembar paling kecilnya.
“Triplets gue numpang makan dong!”
“Jingga!” Seru si kembar tiga berbarengan.
Yang namanya di sebutnya barengan cuma ngeliatin triplets bingung, “Kalian semua kan udah tau nama gue? Kenapa deh manggil?”
“Bantuin kita ganti popok bayi dong jing, asli udah pada hopeless semua ini kalau lo mengaharapakan mereka mah.”
Senja yang tersinggung langsung melempar dua buah bantal sofa, “Kayak lo bisa diharapkan aja Ji! Gue bukul nyaho lo!”
“Hnggg!”
“Yah! Mewek ini mah, fix!” Raga udah bukan mikir cara ganti popok yang benar, tapi dia udah mikirin cara nenangin batita dengan cepat.
“Huwee! Hiks! Hiks! Huwee!”
“Anjir sesegukan, sed- aw! Kok aku di pukul?” Senja nanya ke tersangka yang udah mukul dia. “Bad! Cei baby jadi nangis!”
”Lah anjir, kok gue do- aduh! Kok gue di jitak sih?” Kali ini dia nengok ke belakang dan sedikit dongak buat liat tersangka.
“Bad word, ada anak kecil Senjana.” Kata Jingga tenang.
Ada jeda diem beberapa detik sebelum Jingga maju mengambil langkah besar dan membawa Cei yang masih nangis walau udah gak separah tadi, “Ambil tasnya satu orang, ikut gue ke kamar Senja.”
Yang namanya di sebut jelas nggak terima, “Kenapa kamar gue?!”
Jingga gak jawab, dia langsung naik gitu aja. Emang rumah sadewata fams ini udah kayak rumah kedua seorang Jinggala. “Gampang, kamar lo paling rapih.” Jiwa ngejawab kemungkinan terbesar
Sesampainya 4 orang remaja dan satu anak kecil keadaan masih belum baik juga, mereka masih debat siapa aja yang akan mengganti popok tersebut yang jelas ditolak dengan sangat keras.
“Lo aja Jing, kita semua gak pernah ada yang ganti popok bayi.” Kata Jiwa sedikit membujuk adek sekaligus sahabatnya ini.
“Lo pikir gue pernah ganti popok bayi? Gak pernah juga, paling mentok cuma ngeliat papa ganti popok bayi!”
“Yaudah minta tolong om Atha ke sini aja.” Raga dengan otak pintarnya.
“Lo aja sana, gue sih gak mau kena rangkulan dadda.” Maksud rangkulan di sini tuh lebih kayak mengapit yang lumayan kencang.
Gimana Jingga mau minta tolong, dia ke rumah Sadewata fams karena di usir sama Sean, sedih memang.
“Permisi boys, gue udah nemu tutorial paling menjanjikan nih!” Seru Senja yang dari tadi diem.
Tiga cowok remaja di situ udah menatap berharap sama Senja, semoga berhasil. Kalau gak berhasil, tolong berhasilin ya tuhan.
Dan akhirnya setelah kurang 20 menit, popok Cei berhasil ganti juga dengan sedikit usaha.
“Gue curiga lo udah punya anak Na, jago banget anjrit.” Sebenarnya Senja sendiri juga kaget waktu dia berhasil ganti popok sang bayi.
Raga senggol pelan tangan Jingga yang masih main-main ke Jio, “Kenapa?”
“Lo kapan nikahin kembaran gue? Kok udah ada anak aja?”
“Hah? Apa hubungannya sama gue?” Sampe detik ini Jingga masih belum ketemu apa hubungan Senja punya anak dan dia yang nikahin Senja.
“Biarin aja Jing, tuh anak emang kalau lagi sampe suka mikir aneh-aneh.” Senja buru-buru ngeberhentiin topik itu, malu.
“Kak, Jio mau pipis…” Remaja yang denger itu langsung kelabakan, Jiwa sebagai orang pertama yang nuntun Jio ke kamar mandi karena gak mau ada kerusuhan untuk kedua kalinya.
Tapi ternyata gak sampe disitu aja, Cei yang dari tadi anteng main tiba tiba jalan pelan ngikutin langkah kakaknya. “Eh, kamu mau kemana cantik?” Senja langsung gendong Cei, karena takut si batita jatuh dan malah ada acara nangis lagi.
Cei udah ngeliatin kakaknya yang ngilang di balik tembak, matanya udah berair pertanda siap untuk nangis lagi, “Eh si cantik kok nangis, kak Jio-nya gak hilang kok, kakak kamu cuma ke toilet sebentar.” Jingga udah mencoba nenangin Cei sebisa mungkin, dia gak mau kayak Raga yang udah bertingkah segala macem, gak cool.
“Bener tuh kata kak Jingga, kak Jio gak kemana mana kok, nanti dia balik lagi.” Senja udah nahan tawa aja.
“Kenapa lo ketawa?” Perasaan dia dari tadi gak mengakatakan hal lucu sama sekali.
“Aneh banget lo di panggil kak, gak cocok.” Abis itu lengan Senja di cubit dikit sama Jingga.
Terus pas Jio serta Jingga balik, baru tangis menyedihkan Cei selesai.
“Dih? Bucin kakak amat.” Sebagai anak bungsu juga, Raga heran Cei bisa setenang itu kalau ada kakaknya
“Kak… Jio laper~” Akhirnya perkataan itu keluar juga, udah Raga tunggu dari tadi biar itu anak cepet tidur siang. Triplets udah capek banget ngeladenin kakak beradik itu main, terutama Senja, karena menurut Cei, Senja lebih asik diajak main dari pada yang lain.
Kayak tadi contohnya, Jio udah bosen sama mainan yang dia bawa dari rumah akhirnya dia ngebujuk Jiwa untuk ikutan main, Jiwa jelas mau biar si anak kecil ini gak nangis.
Sejauh ini dari 4 orang remaja, yang sama sekali nggak dilirik oleh Jio dan Cei adalah Raga. Menurut mereka Raga terlalu nyeremin, jarang senyum, pokoknya serem. Raga langsung tertusuk hatinya, di bilang serem sama anak kecil, siapa yang gak sakit hati coba?
Raga sih seneng, dia gak perlu repot-repot ngajak main atau bikin capek supaya cepet tidur, tapi ini anak kecil yang bilang, anak kecil kan biasanya jujur. Menurut Raga, Jingga lebih lempeng mukanya, tapi kenapa Cei suka banget digendong Jingga? Gak adil ini namanya.
Balik lagi ke Jio yang udah kelaperan, akhirnya mereka pesen online aja karena orang yang paling bisa masak diantara mereka udah capek banget ngejar-ngejar anak kecil.
“Oh iya, gue kesini kan mau numpang makan!” Akhirnya Jingga apa tujuan dia tadi, tapi malah ditarik untuk bantuin Cei ganti popok.
Tapi ternyata penderitaan mereka gak sampe di situ aja, mereka lupa kalau seharian ini triplets plus Jingga bakal jadi babunya Jio serta Cei.
“Jio bisa makan sendiri?” Raga mencoba peruntungan, siapa tau Jio jawab nggak dan minta di suapin dan Jio jadi mengubah pandangnnya ke Raga kan?
Tapi tidak seperti kayak yang dipikirkan Raga, semuanya berbanding terbalik. Jio malah ngangguk dan parahnya lagi dia sedikit menjauhkan tubuhnya dari sekitar Raga.
Jingga yang diem-diem ngeliat itu cuma ketawa pelan, dia cubit sedikit pipi Jio, “Ey, itu kenapa kak Raga-nya didiemin?”
Jio miringin kepalanya sebentar sebelum ngejawab, “Kan tadi aku ngangguk, itu bukan jawaban ya?”
Senja yang lagi nyuapin Cei langsung nyaut, “Jawaban kok! Ngangguk-ngangguk itu termasuk jawaban!”
Lagi, Jio miringin kepalanya lagi, “Kak Senja kok tau? Emang kak Senja denger tadi aku ngomong apa?”
Ya … nggak sih … tapi kan…
“Kamu tuh kepinteran tau gak sih?”
“I don ge dit.” (I don’t get it)
Jingga udah nyenggol triplets satu satu, “Bapaknya idol, lo nya kali yang kegoblokan.”
Setelah makan, jauh dari perkiraan mereka, mereka kira Jio serta Cei akan langsung tidur. Tapi nggak! Mereka malah makin aktif.
Di sofa udah ada Senja yang kayak orang aneh, tatapannya kosong, dia kekenyangan karena kebodohannya sendiri, dia malah pesenin menu porsi orang dewasa untuk Jio serta Cei, alhasil dia harus ngabisin sisanya karena 3 orang lain udah ngegeleng heboh.
Terus di lantai, ada Raga yang udah tiduran sembarang arah, dia kan pasti gak bakal di ajak main, santai aja. Terus ada Jiwa dan Jingga yang harus menemani kakak beradik itu lanjut main.
Dan sepertinya Jio maupun Cei memang sudah mengantuk tapi masih mau main, akhirnya tanpa tau tempat, Jio langsung tidur begitu saja. Dan juga ruang tamu Sadewata fams memang sudah sejuk.
“Gue pulang sekarang deh, papa minta anterin ke supermarket. Gue pamit ya guys, makasih makannya dan kerepotannya.” Jingga pamit setelah membaca pesan dari sang papa.
“Lah kan ada om Sean?”
Jingga hanya menjawab pertanyaan Jiwa dengan angkat bahu singkat.
“Papa kalau belanja gak cukup satu babu.”
“Makasih Jing udah mau di bantu repot!”
“Santai, gue balik dulu!”
Setelah mengatakan itu, Jingga langsung pergi dan meninggalkan 5 lima orang kekenyangan.
“Eh mereka belum mandi tau.” Kata Jiwa setelah mengingat hal yang mungkin penting. Karena menurut Jiwa, mandi itu gak penting, yang penting adalah wangi.
“Oh iya! Mandiin sekarang gih, udah jam 5 jugaan, di sembur lo sama bapaknya.”
“Guys, gue bantu doa aja ya?” Raga udah males duluan.
“Apa-apaan lo agan-agan olshop! Kaga ada! Kita semua kerja!” Oh jelas Senja nggak mau susah sendiri.
Akhirnya Jio di gendong Jiwa, dan Cei di gendong Raga. Raga kira, gadis kecil itu akan menangis meronta-ronta minta turun, ternyata ia salah. Sepertinya Cei suka di gendong Raga walau di detik selanjutnya Cei sudah meronta. Raga terharu, setidaknya Cei mau digendong walau sebentar.
Setelah perjuangan 1 jam memandikan si kakak beradik tersebut dan triplets harus mereleka baju mereka basah, akhinya selesai juga walaupun drama yang ada pun tidak sedikit.
Seperti awal, Senja menyontek aplikasi berwarna merah, dan memandikannya dengan amat sangat amatir karena tidak ada Jingga tentu saja.
Seperti tadi, bukan mata si anak kecil yang perih karena shampo atau sabun. Melainkan mata seorang Ragandra yang tak sengaja kena sabun yang tercipak dari bak mandi.
“Lo pegang dia, gue pakein bajunya!” Seru Raga yang jelas mendapatkan protes dari kembaran tertuanya.
“Gak! Lo pegang, gue pakein lah!”
Senja sih nggak peduli, orang dia hanya bertugas mengawasi Jio yang sedang pakai baju sendiri.
“Cemen kalian, pake baju buat batita 2 tahun aja debat. Umur lo berdua di jumlah juga bisa buat beli nasi padang.”
“Ngomong lo sini sama anduk basah!” Raga gak terima di bilang cemen, dia cuma nggak berpengalaman kok.
“Bawel nih si matahari tenggelem.” Tuh kan, Jiwa ikutan kesel.
Setelah semua rapi termasuk triplets yang sudah ganti baju, mereka berlima hanya leha-leha di ruang tamu.
“Eh apaan nih berat-berat?” Raga langsung bangun dari tidur malesnya saat merasakan ada sesuatu yang berat menimpa pahanya.
“Widih, tumben mau sama lo Gan?”
Dan ternyata ada Jio yang udah tidur di pahanya. “Itu mah emang dianya udah capek, nih adeknya juga udah tumbang.” Kata Senja menunjuk sebelahnya memakai dagu. Dan ternyata benar, ada Cei yang sudah tidur.
“Kita pulang!”
Iya, Jaka dan Randu gak beneran pergi lama, dia masih ada rasa kasian sama anaknya yang mempunya pengalaman 0 dalam mengurus anak kecil. Tadi mereka bawa koper pun karena papa Rei minta di bawakan barangnya yang tempo hari tertinggal saat beliau menginap.
“Loh? Tumben sepi?” Ini gak normal, Jaka dan Randu yang baru pulang udah dibuat panik karena gak ada suara sedikit pun.
Tapi setelah mereka melewati ruang tamu, baru hela nafas lega bisa keluar dari mulut Randu.
Anak-anaknya beserta Jio dan Cei sedang tertidur pulas di lantai, untung ruang tamu mereka di lengkapi dengan karpet. Posisinya masih sama walau ada yang berbeda sedikit, Senja dan Cei masih di atas sofa dengan Cei menyenderkan hampir seluruh tubuhnya ke Senjana.
Di bawah, ada Jiwaka yang tidur dengan tangan dilipat di dada dan menyender ke sofa, dan Ragandra ada di sebelahnya dengan buku menutupi mukanya. Jangan lupakan Jio yang masih berada di antara kaki Raga.
“Kalau lagi tidur kenapa anak-anak lucu ya Ran? Padahal kalau bangun udah kaya reog kesurupan.” Kata Jaka.
“Bener juga, tapi kan itu anak kamu!”
“Apaan sih, orang buatnya collab.”
“Itu mulu lo omongin dari kapan tau.”
“Bye bye dulu dong itu sama papanya.” Randu menyamakan tingginya dengan si anak kecil, mengangkat tangan Jio agar dia ikut melambai; mengucapkan perpisahan.
Jaka yang tepat dibelakang Randu hanya tersenyum, toh dia yang bakal ngurusin kan dua bocil ini kan? Aman.
Cei yang berada di gendongan Jaka hanya menyembunyikan wajah memerah akibat nangisnya, dia berpikir sang papa akan pergi dan tidak menyayanginya lagi.
“Hmph!” Jio mengalihkan pandangannya dari Axel. “Eh kenapa Jio? Itu papanya mau pergi loh, gak mau bye bye dulu? Gak mau kiss goodbye?” Randu membujuk Jio dengan sedikit menahan tawa.
“No!” Jio menjawab dengan tegas yang tidak terdengar tegas karena aksen anak kecilnya yang masih sangat kental.
Axel yang masih menunggu taksi segera tanya, “Kenapa?”
“Cei baby nangis! Papa bad!” Kata Jio menatap papanya nyalang, masa udah kiss goodbye langsung di tinggal? Emang Jio cowok apaan?
“Beneran gak mau nih? Taksi jemputan papa udah dateng loh.” Kata Randu sambil sedikit menggoda Jio.
“Hng!” akhirnya setelah perdebatan antara batinnya, Jio tetap lari ke arah Axel yang sudah membuka lengannya; siap menangkap Jio.
Cei yang melihat itu segera meronta-ronta di gendongan Jaka, “Pa!” panggilnya sembari menggerakan tangannya di udara seolah ia bisa mengapai Axel.
“Kan, ikutan nangis lagi.” Jaka bingung, dia udah lama gak ngurus bayi.
“Ya kamu samperin ke bapaknya lah, ngapain diem aja?”
“Males Ran, kamu aja gih. Aku lagi gak pake sendal tau, nanti kaki aku kebakar gimana?” Jaka dan seribu alasannya.
“Vampire kali lo.” Randu langsung ambil Cei dan dia jalan ke dekat Axel yang masih menenangkan Jio.
Tap!
“Tuh yah, ayah tuh udah gak cocok punya anak lagi.” Ternyata ada Jiwa yang lagi menenangkan Jaka.
Di sisi satunya ada Senja yang lagi ngeliatin Jio dan Cei nangis lumayan kencang. “Ayah harus terima kalau ayah udah mulai menua.”
“Kalian nih!” Jaka langsung ngerangkul kedua anaknya, gak terima dia tuh di bilang tua.
“Untung gue gak ikutan.” Monolog Raga yang lagi senderan di pintu rumah, menikmati pemandangan yang ada.
📌 Disclaimer
• bxb, bl, boys love • slight gxg dikiiit • 1000% imajinasi author jadi jangan dibawa ke rl • hanya fiksi • banyak kata kasar dan typo • banyak adegan yang tidak boleh di contoh, sekali lagi, ini hanya fiksi • abaikan timestamp • semua foto diambil dari internet dan sejenisnya • akan banyak cw serta tw, so please be wise • enjoyyyy 😆
“Yaaah, yaah, ngunn,” Jaka bisa rasain dia kaya ketindihan, kepalanya berat banget, dan ada yang pukul-pukul mukanya lumayan kenceng. Lumayan panik, takut takut dia udah di alam lain kan gak lucu.
Pas buka mata, ternyata ada Jiwa yang lagi duduk di dadanya, kayanya sih emang mau ngebangunin Jaka. Alisnya mengkerut, bibirnya maju, kesel dia bapaknya susah dibangunin.
Pas Jaka udah muka matanya, Jiwa langsung senyum lima jari, “Ngun! Ba! Yah ngunn!” Seneng dia tuh perjuangan manjat kasur orang tuanya untuk ngebangunin Jaka gak sia-sia.
Cklek!
Randu masuk lengkap dengan apronnya yang masih melekat di tubuhnya, “Udah bangun?”
“Kamu ... spatulanya taruh dulu dong, aku berasa mau di pukul tau.”
“Oiya, maaf,” Randu balik lagi ke dapur buat taruh spatula itu. “Lagian kamu tumbenan bangun jam 10 sih? Kenapa?”
“Gak tau juga, tadi pas bangun aku juga pusing. Apa karena di bangunin paksa sama ini buntelan?” Jaka ngeliatin anaknya yang lagi guling-guling di kasur. Kamar orang tuanya lebih adem dari kamar dia, sumpek soalnya ada dua makhluk lainnya.
“Loh? Iya? Kan biasanya kamu malah langsung ajak berantem mereka.” Randu bingung, suaminya kalau libur tuh pasti bikin rumah heboh. Tangisan, teriakan, ketawa ada di mana-mana. Pusing, tapi seru, tapi pusing, gitu deh intinya.
“Nggak tau juga akunya.” Terus Jaka kembali tiduran, pusingnya makin jadi.
Randu jalan ngedeketin suaminya, gini gini dia juga masih ada rasa panik, “Kamu sakit?”
” ... Iya kali ya?”
“Lah?” Randu bingung, Jaka ikutan bingung. Jiwa yang lagi duduk nyerong juga ngeliatin bingung, bayi umur dua setelah tahun itu masih setia dengan susu di genggamannya.
“MOLNING SUNSHINE!” Terus Senja masuk gitu aja karena dia curiga kembaran sama ayahnya gak keluar-keluar.
Wah, di situ kepala Jaka rasanya udah mau pecah, dia udah sakit kepala ditambah teriak Senja, lengkap. Biasanya dia gak gini kok, dia udah kebiasa 2 tahun lebih denger suara teriakan cadel memenuhi rumahnya.
“Senja.. jangan teriak-teriak dulu ya, ayah lagi sakit.” Randu nyoba ngasih tau anak tengahnya pelan-pelan.
“SAKIT?! KOK BISA?!” Yang teriak bukan Senja, tapi adiknya, Raga.
“Loh ... kamu sejak kapan ada di situ Ndra...” Bingung, anaknya udah kaya jelangkung aja, datang tak di undang.
Raga nyipitin matanya, “Aku di sini dali tadi, Ba!” Gak terima dia tuh gak di anggap gitu aja. Sebel.
“Baa, Yaaah panas..” Jiwa yang masih di kasur mencoba menarik perhatian yang di mana itu berhasil.
“Oh ya?” Randu buru-buru nempelin punggung tangannya di leher Jaka. Gak tau kenapa, tapi pengen aja gitu di leher...
“Loh beneran panas?!” Dia udah ngeliatin Jaka tajem, yang di tatap ya jelas ciut lah nyalinya. “Hehehe, janji deh, lain kali nggak lagi...” Jaka cuma bisa senyum aja. Soalnya emang beberapa hari ini dia lumayan sering lembur karena ada beberapa masalah di kantor, Randu udah ngingetin Jaka buat gak terlalu capek. Tapi ya ... omongan suaminya ini kayanya gak terlalu di dengerin.
“YAH SAKIT?” Senja yang dari tadi diem mencerna semuanya langsung kaget. “Telat banget kamu, nak...”
Hari ini Jaka bener bener jadi raja di rumah. Semua apa yang dia minta pasti di iyain.
Triplets jelas takut lah, ayah mereka masih bisa senyum walau mukanya udah merah karena demam. Tapi kalau gak senyum, tambah takut...
Tapi walau takut, triplets masih kekeuh buat bantu baba mereka ngurus ayahnya, kalau kata Raga sih “baba kecil, ayah besal, nanti baba lemuk.” Ya Tuhan, sekecil apa Randu...
“Ayo ayah pakai bye bye fevernya!” Ini Randu malah semangat banget, padahal itu penurun demam buat anak kecil, tapi jadinya malah lucu gitu. Suka Randu nih kalau suaminya udah pasrah.
Sekarang Jaka lagi di ruang tamu karena disuruh Randu, katanya biar ada udara. Jelas ditemani si buntelan dong.
Walau Jaka lemes gitu kaya kurang kurang belaian gitu, dia tetep ngeganguin anaknya yang lagi nyender ke dia. Entah tiba-tiba matanya ditutup, atau dianya goyang-goyangin badan biar sofanya ikutan gerak. Masih sakit aja udah banyak tingkahnya Jaka tuh.
Karena di luar lagi musim hujan jadi Jiwa dan Raga lagi mencuri kesempatan buat duduk deket ayahnya. Loh apa hubungannya? Ya jelas aja, ayahnya lagi kaya pemanas ruangan, Randu sih seneng seneng aja, jadi hemat listrik.
Sekarang Jaka ada di tengah-tengah, kanan kirinya ada anaknya yang berebutan selimut. Itu sebenernya selimut Jaka karena dari tadi dia ngeluh kedinginan, ya emang lagi dingin sih, tapi beda gitu suhunya.
“Ga! Janan ambil limut aku!” Gak tau kosa kata dari mana, tapi Jiwa males banget nyebut dua huruf awal barang itu.
“Yaaa,” adik kembarannya cuma nanggepin seadaannya. Ada yang salah nih, batin Jaka.
Dan ternyata bener, tanpa banyak omong, Raga masuk ke dalam selimut Jaka, dia duduk di pangkuan bapaknya. Kepalanya keluar dari bawah dagu Jaka.
“Ajaib banget tingkah kamu, nak...” Bingung banget Jaka, padahal itu anaknya.
“Ja selesai!” Anak perempuannya abis teriak langsung lari gitu aja ke dapur, nyamperin Randu. “Sejak kapan kamu di situ Jana...” tuh kan, Jaka bingung lagi.
Jaka nengok ke sebelah kirinya, ke Jiwa. “Kamu gak mau ikutan ajaib?”
Jiwa cuma ngegeleng singkat, “Males, capek.” Abis ngomong gitu dia hela nafas. “Lah? Kamu duduk doang sok capek.” Kalau bukan anak, udah di toyor kepala Jiwa.
Gak lama Randu dateng sambil ngegendong Senja, dia ngeliatin bingung suami sama anaknya, “Itu anak kamu ... gak kepanasan?”
Randu nanya ke Jaka, tapi yang jawab malah anaknya, “Hihi, gapapa ba, anget.” Dia goyang-goyangin badannya pelan.
“Terus itu, kenapa Jiwa nyenderan aja?”
“Capek.” Jiwa jawab dengan enteng. Randu cuma geleng-geleng. “Anak kamu Ka.”
“Ya?” Yang jawab malah Jiwa, “Yeu, ini lagi satu, bocil ikut-ikutan aja.” Jaka walau demam tetep mulutnya licin.
“Gak lagi-lagi ngasih nama yang mirip deh.” Randu cuma geleng-geleng lagi.
“Mau lagi? Yuk bikin?” Jaka naik turunin alisnya. Respon Randu cuma nyentil dahi Jaka. “Sakit Raaaan.”
“Ayo, makan siang dulu triplets.”
“SIYAP BAAAAA!” Terus Jiwa, Raga, termasuk Senja yang baru turun dari gendongan Randu langsung lari.
“Ini pada laper apa gimana..” Jaka cuma ngeliatin bengong aja, perasaan tadi Senja baru makan, tapi masa udah laper lagi?
“Yaudah, kamu mau makan di sini atau ke dapur juga?” Randu nanya ke suaminya yang udah dalam posisi siap tidur.
“Aku makan nanti aja deh Ran, masih ngantuk akunya.”
“Gak ada! Kamu makan dulu, minum obat terus baru tidur.”
“Anak kamu udah nungguin ih itu.”
Bohong. Pas Jaka nengok ke dapur, anak-anaknya gak ada yang ngelirik dia sedikit pun, sedih dia tuh jadinya.
“Mana, gak ada tuh.” Mulut Jaka udah ke bawah aja garisnya.
“Yah!! Janan memle.” Itu Jiwa yang teriak.
Jaka? bengong. Anaknya tau kata itu dari mana?
“Memle apaan Ran...” Jaka tanya ke suaminya yang masih berdiri di depannya.
“Memble kali maksudnya.”
“Belajar dari mana heh!”
“Om Ndu, hehehe...” Ketawa lagi nih si Senja, Jaka makin kesel aja liatnya.
“Bener-bener emang tuh si kangen!” Jaka udah ngomel-ngomel aja.
“Eh, Sean, Atha, ayo sini masuk.” Sapa bunda saat ngeliat mereka berdua di teras.
“Eh iya bunda. Kak Randunya mana?” Tanya Sean ke bunda.
“Naksir lo?” Bukannya bunda yang jawab, tapi Jaka yang malah muncul dari balik lemari yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga.
Bunda ketawa kecil, “Udah, udah, jangan berantem di sini. Ayo masuk kalian.” Ajak bunda ke teman-teman Randu serta Jaka.
Di situ masih ada Rindu yang main hp; ngabarin Randu. Dan baba ada di kamar mandi entah ngapain.
“Itu kak Randu bukan sih?” Tanya Sean ke Atha yang di sebelahnya. “Kayanya mah bukan, itu aja rambutnya blonde, kak Randu kan rambutnya item.”
“Kalian ngapain sih?” Kepala Yasha muncul di antara kepala Sean Atha. “Cara bedainnya gimana deh kak?” Tanya Atha ke Yasha yang lagi ngetangkul mereka berdua. Agak jinjit dikit sih...
“Kalau dulu kan mereka berdua mirip banget, biasanya Randu rambutnya belah pinggir, kalau Rindu belah tengah. Gak tau deh kalau sekarang.”
“Kalian ngapain sih bisik bisik? Mana deket banget, ciuman ya?”
“Idih, mending gue jomblo seumur hidup daripada pacarin ini dua bocil.” Yasha natap males Kian.
“Kalian duduk aja dulu, atau makan dulu, udah siang kan ini. Bunda mau panggil Randunya.”
“Gak usah bunda, aku aja.” Tanpa persetujuan bunda, Jaka langsung pergi gitu aja untuk ke kamar anaknya.
Terus gak lama, muncul Randu dari lantai dua.
Di posisi ini, Markian dan yang lainnya udah pusing banget liat dua orang dengan muka yang mirip.
“Ini mah Jaka berasa punya dua suami…” gumam Hanan dan dibales anggukan oleh Nata.
“Mukanya biasa aja dong.” Tegur Randu pas liat temen-temennya ini mukanya kaya anak hilang, bingung, gak tau mau ngapain.
“Lo juga mukanya biasa aja, gak galak mereka.” Kaki ini Randu tegur Rindu yang ngasih tatapan intimidasi yang bisa bikin yang ngeliat merinding.
“Kalau mereka galak, ya gue galakin balik lah. Loyo amat.”
“Mereka gak ngapa-ngapain aja lo galakin, apa kabar mereka galak.” Dibalas kerlingan mata malas dari Rindu.
“Yaudah, kalian makan dulu gih, biarin aja mereka gitu. Kangen-kangenan kali.” Suruh bunda pas liat temen Randu dan Jaka ngasih muka bingung.
“Geli banget.” Ini si kembar yang bales bunda.
Sekarang semua orang yang di rumah itu udah kumpul di ruang keluarga kecuali Jaka. triplets masih gak bisa di tinggal, jadi Jaka sebagai suami dan ayah yang baik menawarkan diri untuk menjaga triplets. Toh dengerin cerita Rindu lebih enak dari mulut Randu, candu katanya.
“Jadi gimana itu lo bisa di culik?” Tanya Hanan yang lagi duduk di lantai. Iya, mereka tadi udah kenalan kok, aneh sih rasanya, tapi gapapa kok.
“Eh tunggu dulu, lo ada trauma sama itu gak?” Randu nanya.
“Nggak kok, yang ada gue pengen lipet kepala yang nyulik, aneh banget anjir motifnya.
“Kenapa tuh?” Bunda mulai kepo.
“Kan ceritanya Bu guru tuh izin gitu ke toilet, nah kelas aku kan di depan, jadi deket sama jalan raya. Gak tau kenapa, tapi kayaknya waktu itu jalan lagi sepi banget sampe kita-kita di culik aja gak ada yang tau.
Long short story ada cowok dua orang masuk, aku udah curiga, tapi ya tetep biasa aja karena aku kira mereka emang yang bersih-bersih di kelas.
Nah, terus kita semua kan di bekab, terus dibawa ke mobil yang jaraknya lumayan jauh dari sekolah, ada sih yang selamat. Tapi gak tau siapa, lupa.
Mata kita juga ditutup, padahal mah percuma ditutup juga buat apa, anak umur lima tahun juga mana hafal jalanan.”
“Julid lo tahan dulu dong.” Tegur Randu, udah agak menjerumus ke ghibah.
“Ya. Lanjut, yaudah sih kita di culik, di bawa ke gudang, di sekap, udah deh.”
“Gue gampar lu.” Randu udah siap-siap mau lempar bantal ke muka Rindu.
“Ya terus gimana? Apa yang lo harapkan?”
“Ya terus ini lo bisa selamat gimana monyet. Lo pake jin gitu?” Pusing, itu isi kepala orang yang ada di tempat. Dengan muka yang mirip, adu mulut, mana mereka baru ketemu tapi udah gini. Aduh, baba aja nyerah ngeliatnya. Randu kalau nggak ada Jaka jadi liar.
“Ya awalannya emang gitu, terus kayaknya di hari kedua, gatau, pokoknya pas aku keluar tuh malem deh. Aku bisa keluar karena aku cuma di iket pake tali bahan yang kalau tangannya di gerakin itu tali udah lepas, yang lainnya juga gitu.”
“Penculiknya aneh banget asli.” Gumam sean.
“Terus pas keluar cuma beberapa yang bebas, karena si penculiknya itu berhasil nangkap beberapa. Cuma aku sama Wanda yang selamat.”
“Tunggu kak, Wanda siapa?” Tanya Atha pas denger nama yang lumayan familiar.
“Wanda lestari.”
“Anjir, hebat juga.” Atha nutupin mulutnya gak percaya.
“Kenapa?” Tanya sean. “Itu anjir yang pernah gue cerita ke lo.”
“Nah terus, pas aku jalan, aku nemu danau gitu, gak tau sih itu dimana, tapi tempatnya bagus gitu buat ngegalau. Terus Wanda ngeliat kakek-kakek sama nenek-nenek, mereka suami istri gitu.
Niat awal sih aku cuma nanya kenapa mereka ada di deket danau malem malem lagi kan, terus mereka malah kasihan dan berujung nyelamatin kita karena keadaan kita yang lumayan kotor.”
“Gak seru anjir.” Ucap Randu, “Gak ada plot twist atau apa gitu?” Tanya Randu.
“Ya gak ada, gue pukul lo.”
“Terus Kaira dan kenapa lo ada di rumah sakit itu kenapa?”
“Kalau Kaira, itu salah satu anak angkat nenek dan kakek tadi, sama kaya Kio.”
“Kalau di rumah sakit?”
“Itu karena emang cafe kita salah satu supplier di rumah sakit, jadi gak gue bolak balik aja buat mantau.”
“Terus kenapa bisa ketemu kamar gue?”
“Karena gue ngeliat baba sama bunda keluar rumah sakit, terus nanya deh resepsionis nama lo, eh ada. Mana pake Sadewa lagi, songong banget.”
“Ya jangan salahin gue dong bro.”
“Terus, kenapa lo gak nyari keluarga lo selama ini?” Tanya Nata yang dari tadi diem.
“Gimana mau cari, gue tau daerahnya aja nggak waktu itu.”
“Emang itu dimana Ndu?” Tanya bunda.
“Ya mana aku tau bund…” Yang jawab malah Randu.
“Bukan kamu, tapi Ndu pertama.” Baba ngejawab Randu.
“Nyebelin juga.”
“Ih itu dimana Rinduuuuu.”
“Oh iya, di surabaya kalau gak salah.” Rindu ngejawab Hanan.
“Terus tiba-tiba lo di Jakarta dan membangun toko bersama 3 temen lo?”
“Ya… iya, emang gitu kan?”
“Terus motifnya apaan dong?” Tanya Kian heran.
“Katanya karena mereka abis menang lotre dan pengen ngabisin duitnya secara instan.”
“Dih anjir, mending duitnya buat gue.” Balas Hanan emosi
“Gak tau deh, nyerah gue nyerah!” Randu jadi orang pertama yang angkat kaki dari ruang tamu dan ke kamar triplets. Pusing juga dengar semua alasan aneh yang keluar dari mulut Rindu.
“Untung lah penculiknya bodoh, intinya kamu selamat.” Bunda elus bahu Rindu.
“Aduh mau juga di elus.” Sean ngomong pelan tapi masih bisa didengar oleh orang sekitarnya, sambil natap Atha.
Atha cuma bisa ngasih tatapan aneh tapi tangannya secara otomatis juga ngelus bahu Sean.
“Aduh, nih dua bocil malah nebar afeksi di sini.”
Rindu tau rumah didepannya ini rumah kembarannya, tapi dia tetap punya sopan santun untuk gak langsung masuk gitu aja. Akhirnya, dia ketuk 3 kali pintu berbahan kayu itu, pelan aja, ada bayi soalnya.
“Halo?” Kata Rindu pas buka pintu, belum masuk sama sekali.
Terus dari dalam rumah dia disahutin, “Bandung,” itu suara Randu.
“Bangsat.” Lirih Rindu, baru ketemu beberapa jam yang lalu udah bikin kesel aja.
Terus gak lama Randu muncul, “Lama lu.”
“Dih? Cheesecakenya gak jadi ya?” Ancam Rindu.
“Yah, jangan gitu dong, lo baik dah, asli.” Terus tangan randu dengan cepat merebut tote bag yang Rindu bawa.
“Kurang ajar nih bapak-bapak satu.”
Baru Rindu mau masuk, tapi udah denger pager kebuka, ada yang datang.
“Randu, Jaka, ini barangnya mau bunda taruh mana?”
Deg
Itu suara bunda.
Suara yang dulu selalu Rindu puja.
“Loh, kamu kok di luar Ndu?” Rindu tau sang bunda pasti mengira dirinya ini Randu.
“Ndu? Kok diem aja?” Tegur bunda saat ngeliat punggung di depannya tidak merespon apapun.
“Loh bunda? Kok cepet banget?” Lalu, keluarlah Randu dari dalam rumah.
“Loh? Randu kan? Terus ini?” Tunjuk bunda gantian dari Randu ke Rindu.
“Kenapa bun?” Tanya baba saat lihat sang istri belum masuk juga.
Randu ikutan bingung, akhirnya dia sadar pas ngeliat Rindu tahan nangis. “Jangan di tahan Ndu.” Tegur Randu ke kembarannya.
Bunda dan baba makin bingung, ini maksudnya gimana?
Randu ngelirik bunda dan babanya terus bilang, “Rindu.” Dan Randu narik bahu Rindu buat hadap bunda dan baba.
“Nih, ada anak ilang nyasar.” Randu berusaha mencairkan suasana, biar gak sedih sedih banget.
Seketika kaki bunda melemas, untung ada baba di belakang beliau untuk menopang tubuhnya. “Rindu? Beneran Rindu anak bunda?”
Rindu ngangguk sambil maju perlahan, dan bunda langsung ambil langkah besar buat meluk anak sulungnya itu.
“Rindu.. kamu kemana aja selama ini sayang.. bunda khawatir sama kamu..” Baba yang ngeliat itu cuman bisa diam mematung, beliau juga bingung harus bereaksi apa selain mengelus bahu belahan jiwanya.
Di detik ini, Rindu udah berusaha kuat untuk menahan air matanya yang siap jatuh kapan aja. Tapi dia tau kalau dia nangis, dia malah buat khawatir orang tuanya.
Lalu, baba mengikuti bunda untuk mengambil langkah besar dan perlahan lahan ikut masuk kedalam pelukan itu.
Jaka yang udah keluar dari kamar triplets dan mau nyusul Randu seketika diam, bingung harus apa selain mengelus bahu tegap suaminya.
“Kamu kok gak ikutan?” Bisik Jaka.
“Biarin aja dulu, mereka mau ikutan tali kasih.” Terus Jaka tepuk bahu Randu. Ini lagi sedih sedihan tapi Randu masih bisa aja bercanda.
Terus gak lama bahu Randu bergerak, Jaka kira suaminya ini nangis, ternyata dugaannya salah besar. Suaminya ini malah nahan tawa, “Kenapa kamu?”
“Lucu aja sih ngebayangin. Pas papa minta maaf ke kamu, di situ ada aku. Sekarang, pas mereka ketemu lagi, ada aku juga. Aku berasa host acara-acara yang mempertemukan orang tua dan anak.”
Jaka cuma geleng geleng heran, ini lagi sendu tapi hancur semua karena pikiran random Randu.
“Demi apa sih, kamu aneh banget. Jujur aku bingung apa yang ada di otak kamu.”
Terus pas Randu ngeliat mereka, dia dapat melihat bundanya ngasih kode lewat tatapan, dia disuruh maju; masuk ke pelukan. Randu yang ngeliat cuma ngangguk terus maju.
Sekarang malah Jaka yang mau ketawa, bener juga pikiran suaminya itu. Ada ada aja mereka tuh.
Lumayan lama mereka berempat pelukan di teras keluarga Sadewata. Randu orang pertama yang ngelepas pelukan itu, “Udah ah, pelukan di teras gini kaya ikutan tali kasih aja kalian.”
Baba sama bunda cuma ketawa, tapi beda sama Rindu. Dia malah nyentil dahi kembarannya itu. “Gak bisa sedih sedih lo.”
Oeekk oekk
Suara Jiwa, Randu ataupun Jaka hafal suara itu. Jaka pun lari ke kamar triplets, beda sama Randu yang masih setia di tempat.
Terus Rindu natap curiga ke kembarannya yang senyum senyum gak jelas. “Kenapa lo? Sawan?”
“Nggak, tapi gue seneng, triplets ada babysitter tambahan, hehehe.”
“Dih?”
“Lo kan omnya, bantu lah urus urus, siapa tau tiba-tiba lo punya anak kan?”
“Pacar aja gue gak punya, ini lagi lo bahas anak.” Terus Rindu masuk aja gitu ke dalam rumah.
“Dih? Yang punya rumah gue!” Teriak Randu terus dia ngejar kembarannya itu.
Bunda dan baba yang ngeliat interaksi itu hanya bisa tersenyum hangat, kapan terakhir kali mereka melihat anak-anaknya berantem kaya gini? Kangen juga rasanya, walau dulu bunda suka pusing karena kelakuan si kembar tiap harinya.