Setelah Randu selesai sarapan dengan sang ibunda, ia segera pamit menuju kampus.

Pas sampai di kampus, Randu belum melihat teman-temannya, mungkin punya jadwal kelas siang.

Tapi, katakan lah Randu sedang tertimpa musibah.

Dari sekian ratus manusia yang ada di parkiran, kenapa ia harus ketemu Jaka?

Jaka dan Randu itu bagai air dan minyak, gak akan pernah bisa bersatu. Hanya untuk ada disekitar mereka saja sudah membuat merinding.

Tapi sekarang, motor Randu dan motor Jaka hadap-hadapan ngerebutin space buat parkir. Sepele, masih banyak tempat parkir yang lain, tapi mereka maunya, ya tempat itu.

“Lo minggir” kata Randu yang pada dasarnya memang ia duluan yang dateng.

“Santai aja dong, lagi pula masih banyak tempat kosong” Jaka ngebales muka biasa aja, ga senyum, ga flat juga.

“Itu tau, tolong lo aja yang minggir, bisa?”

Jaka senyum sekilas, lalu, “ngga” tanpa aba-aba langsung masuk ke tempat parkir.

Randu yang kepala emosi akhirnya parkir motor di sebrang motor Jaka. “Bajingan” umpat Randu pas liat Jaka senyum licik


“Bunda, ada apa?” Tanya Randu saat indranya menangkap sosok ayu yang sedang tertunduk lesu.

“Bunda boleh ngomong?” Tanya sang bunda dengan senyum teduh. Randu tau itu terpaksa.

“Boleh bunda. Ngomong aja gapapa” saat sudah mendapatkan lampu hijau, sang bunda langsung menghadap anak satu-satunya itu. Menatap figur Randu yang tingginya melebihi sang ibunda, padahal rasanya baru kemarin sang ibu belajar menggedong. Ternyata anaknya sudah besar, ya.

Randu menggenggam tangan sang ibunda yang mendingin, entah kenapa. “Bunda boleh minta tolong?” Yang di jawab anggukan mantap.

“Kakek ... Randu ... kakek” ucap sang ibunda terputus-putus menahan isak. Segera Randu tarik tumbuh ringkih sosok di depannya yang telah membesarkan dia selama dua puluh dua tahun.

“Bunda, ada apa?”

Lalu bunda menatap sang anak. “Kita sayang kakek, tapi Tuhan lebih sayang, Randu”

“Bunda... kakek, meninggal...?” Yang dijawab hanya anggukan samar.

Kakeknya, meninggal? Kakek yang selalu ia cari saat dirinya tak sengaja patahin gagang pintu guna menghindari amukan sang baba.