Orang pikir mungkin mereka bakal canggung, tapi ternyata ngga.

Ga ada yang berubah sih, tetep adu bacot, kok.

Rigel yang tetep masak makan malem –walau sedikit lama karena kakinya yang masih sakit– dan Jevano yang tetep cuci peralatan dapur yang tadi Rigel pake.

Sekarang, mereka udah rebahan, belum tidur. Cuma pijet hp kalau kata mamanya Rigel.

“Cuy, kaki lo masih sakit?” Ga betah sama suasana sepi, Jevano sebagai orang pertama yang memecahkan keheningan.

“Lo pikir” bukan pertanyaan, bukan juga pernyataan. Jevano anggap iya.

“Coba siniin” tanpa aba-aba, Jevano duduknya maju dan ngeletakin kaki Rigel di pangkuannya.

“Lo ngapain? Ga sesakit awal kali. Tadi salah gue juga pas jalan ga ngeliat ada genangan” langsung di jawab sekaligus. Iya, Rigel kaget, refleks kaget dia pasti ngomong panjang lebar.

Disingkap se-paha guna liat bagian yang terkilir, Jevano mengernyit. “Yakin ga sakit? Biru gini lo ga sakit?” Kata Jevano sambil nyentuh bagian biru itu.

“Je, ga lo gituin juga, ya sakitnya dateng lagi dong” Jevano cuma senyum. Ada ya sakit dateng, terus ilang lagi?

Jevano hirauin, dia lebih milih pijet kaki Rigel tanpa banyak omong.

Jelas Rigel bingung, ada angin apa tiba tiba Jevano yang songong bersedia mijetin dia tanpa di minta?

Selama adegan mari-bikin-kaki-Rigel-tidak-terkilir-lagi selesai yang diakhiri Jevano tepuk-tepuk pelan. Jevano langsung rebahan.

Julurin tangan untuk matiin lampu lalu narik selimut sebatas dada. Semua dilakuin dalam satu waktu, ga biarin Rigel untuk membuka mulut protes.

Jevano sempetin untuk nepuk nepuk punggung Rigel sebentar, terus merem.


Rigel ga paham...