Lega?

Di bilang deg degan? Lumayan. Renjun mau nanya banyak hal, dari a sampai z, semua akan ia tanyai. Tapi, tolong lah, ga lucu dia yang ngajak, dia yang batalin.

“Hai, Ren. Nunggu lama?” Tiba tiba ada yang narik kursi di depan Renjun, hampir aja dia tendang tulang kering orang di depannya ini.

“Oh, ngga. Mau pesen apa?” Oke, keep calm, bertindak selayak sahabat lama yang berpuluh-puluh tahun tidak ketemu. Walau hati Renjun rasanya wooosh, jatuh ke palung mariana. Padahal Jeno juga tuh.

Setelah minuman datang, Renjun tanpa babibu lagi langsung ke pertanyaan inti.

“Bisa di jelasin?” Renjun nanya santai, tapi Jeno deg degan nya berasa mau sidang. Ini beda, bukan Renjun yang Jeno kenal, Renjun yang Jeno kenal orang nya ceplas-ceplos. Empat tahun –atau masa lalu– mengubah Renjun banyak

“Jadi,” Jeno tatap Renjun sebentar, ingin lihat gimana reaksi sang lawan bicara. Hanya tatapan datar yang belum pernah Renjun tunjukan.

“Jadi, lo kenal Sisil?” Lantas yang di tanya mengangguk sebagai jawaban. “Kita di jodohin.” Bisa di lihat, Renjun menatap Jeno dengan tatapan terkejut, tapi si pemuda kelahiran maret itu barusaha stay cool.

“Gue sempet denger lo ngobrol sama Sisil. Iya, kita berdua ke Jerman karena kata bokap gue bisa jagain dia. Walau setengah mati gue muak liat muka dia.

Tapi gue rasa, kalimat perjodohan itu cuma gertakan, bokap ga suka gue deket sama lo, Ren,” pikiran Jeno melayang ke beberapa tahun lalu, dimana sang ayah mencaci-maki Renjun yang tidak tahu apa apa di depannya.

Lalu, pikiran Jeno seakan di tarik ke masa yang paling kelam. Tahun ketiga ia di Jerman. “Terus, Sisil hamil.”

Sudah Jeno duga, Renjun akan membulatkan matanya sempurna. “Terus, itu lo.. yang hamilin?” Eugh, kenapa kamu menanyakan hal kaya gitu Huang Renjun?

Jeno hanya melemparkan kekehan kecil, lalu menggeleng, “well, selama di Jerman gue selalu mikirin lo. Ga ada waktu buat Sisil, kita juga tinggal beda kamar.

Tapi tiba tiba dia dateng ke gue sambil nangis nangis, dia jujur ke gue itu anak siapa, tapi ga ke orang tua kita.” Renjun dapat melihat tatapan penuh beban Jeno.

“Dia bilang itu anak gue, akhirnya papa bersikeras gue nikahin dia secepatnya. Gila tuh orang.” Renjun tergugu, bingung mau bereaksi seperti apa. Sedih? Prihatin? Marah? Kasian? Kecewa? Tidak tahu, Jeno cuma bisa tersenyum maklum.

“Akhirnya gue nentang, gue ga pernah nyentuh dia, sama sekali. Sampai, ada tetangga yang saranin buat liat cctv. Semua terbukti.” Kata Jeno sambil sesekali menyeruput minumannya yang sudah setengah. Cerita masa kelam itu, butuh banyak tenaga, ya.

“Akhirnya Sisil ngaku, dia ngelakuin itu biar bisa bebas dari tuntutan ayah nya. Bokap gue di situ langsung down, ga percaya kalau pilihannya, jadi pilihan terburuk.” Wah, kalau di pikir pikir, Jeno pada hari itu hebat juga, ya. Walau ia sempat perang dingin dengan sang papa. Tapi setidaknya sekarang sang papa sudah mengaku kalah.

“Udah, gimana? Jelas kan? Apa kurang jelas nih?” Sontak si aries menggeleng heboh.

“Ngga, makasih Jeno udah nyeritain. Pasti berat, ya? Lo hebat Jen” lalu, Renjun mengacak ngacak rambut Jeno. Ternyata gini definisi yang di acak rambut, hati ikut berantakan.

“Gue seneng lo bisa keluar dari lingkaran setan itu, tapi Jen. Lo tau kan kalau gue...” kata Renjun sambil melirik jari nya.

Jeno hanya tersenyum maklum, “tau, gue juga seneng kok kalau lo seneng. Bahagia terus ya, Renjun.”