175
amateur birth scene , apapun yang ada di sini jangan di bawa serius.
Tanpa pikir panjang Jaka langsung melajukan mobil kebanggaannya dengan kecepatan di atas rata-rata.
Well.. Jakarta sore hari lumayan padat di hari itu (walau sebelumnya sama padatnya) tapi Jaka dengan pikiran kalang kabutnya tetap menyalahkan jalanan.
Akhirnya setelah dua puluh menit sang calon ayah itu sampai juga di kediamannya, lengkap dengan makian dan peluh sebesar biji jagung jatuh di antara dahinya.
“Randu?! Kamu di mana sayang?” Teriak Jaka.
Aduh, Jaka..
“Aku di depan kamu dari tadi!” Iya, padahal Randu udah duduk di ruang tamu yang posisinya bahkan bisa di lihat dari luar.
“Santai aja, sakitnya masih bisa aku tahan kok.”
“Kamunya santai, akunya udah jantungan ini. Sebentar, aku ke kamar dulu ambil dompet.”
“Udah aku ambil, ada di tas tuh.” Tunjuk Randu pakai dagu. Iya, Jaka tuh kalau keluar sendiri atau gak sama Randu, dia pasti ninggalin dompetnya dan cuma bawa card holder.
“Makasih. Kamu kuat jalan gak?” Tanya Jaka dengan raut panik. Kondisi Randu gak bisa di bilang baik, raut muka yang berusaha senyum walau sedikit di paksa, keringet yang membasahi muka serta rambut, dan lagi berusaha menormalkan nafas.
Aduh, Jaka mau nangis tapi gak mungkin. Akhirnya dia tetep gendong Randu dan tangan kanannya bawa tas keperluan mereka. Setidaknya olahraga Jaka selama ini ada gunanya.
Dan keadaan masih sama, macet. Randu yang di sebelah Jaka cuman bisa ngelus tangan suaminya itu dengan niat nenangin. Iya.. tenang sih, tapi tetep panik.
Akhirnya setelah kurang lebih dua puluh menit, pasangan calon orang tua itu sampai juga di rumah sakit.
Si kelahiran april buru-buru manggil perawat untuk membawakannya brankar dan menurunkan Randu dengan hati-hati.
Para perawat langsung membawa Randu ruangan dan Jaka ke admistrasi.
Tidak lama, Jaka udah berada di ruang oprasi. Pemandangan Jaka saat ini adalah Randu yang berusaha nafas teratur, “Ka..” panggil randu saat obsidiannya menangkap sosok Jaka yang masih diem di depan pintu.
Karena sekarang bukan jadwal dokter Rian –dokter yang menangani Randu selama ini– jadi mereka sedikit menunggu.
Oh, tadi Randu juga sudah menjalani beberapa tes yang Jaka gak paham namanya apa. Dan sekarang, calon orang tua itu lagi mendengarkan detak jantung sang bayi yang mengalun indah di ruangan bernuansa putih itu.
Suara itu bersautan satu sama lain. Berisik, tapi indah di waktu yang bersamaan.
“Ka..”
“Ya, kenapa baba?” Jaka tatap halus suaminya.
“Sa-sakit..” Demi tuhan, Jaka mati-matian menahan tangisnya supaya Randu gak merasa panik.
Jaka bawa Randu kepelukannya, diciumnya puncak kepala sang suami guna menenangkan. Dan juga, Jaka bisikan bermacam-macam kata penenang. “I love you, baba.”
“Triplets juga sayang kamu. We love you baba.. kamu kuat, aku tau itu..”
Detik selanjutnya, Randu mulai ngerasa tubuh bagian bawahnya udah gak berasa. Ah, kayanya dia udah di bius tadi.
Randu meremas tangan Jaka pas tirai penghalang terpasang di perut bagian atas. Takut.
“Kenapa?” Tanya Jaka lembut.
“Takut..”
Jaka senyum sebentar, “Gapapa, sebentar lagi kita ketemu buntelan, jadi, bertahan ya?”
Tanpa Randu tau, Jakanya juga sama takutnya. Tapi dia berusaha menutupi agar Randu gak panik.
Randu bisa ngerasain benda dingin nyentuh permukaan kulitnya, makin kencang juga remasan dia di lengan Jaka.
Detik selanjutnya, suara bayi mengalun merdu di ruangan itu.
“Laki-laki, jam tujuh malam lewat tiga puluh dua.”
Pecah tangis kedua orang tua baru itu.
“Masih ada dua bayi lagi nih.” Dokter Rian ngasih tau sang pasien takut-takut mereka lupa kalau mereka punya tiga bayi.
“Gak sakit kan Randu?” Tanya dokter Rian guna mencairkan suasana, dan Randu menjawabnya dengan gelengan. “Oke, saatnya yang kedua.”
Lagi, suara bayi mengalun lagi. Kali ini lebih cepreng dari yang sebelumnya. “Wah, perempuan ternyata nih.” Gumam sang dokter.
“Perempuan, jam tujuh malam lewat tiga puluh sembilan.”
“Tujuh menit ya..” Batin Jaka menghitung jarak lahir si triplets.
“Dan terakhir, adiknya. Randu, tahan sebentar lagi ya?” Dan Randu sekali lagi hanya sanggup menjawab dengan anggukan seadanya.
“We love you, kita semua sayang baba, baba kuat.” Bisik Jaka halus.
“Laki-laki, jam tujuh malam lewat empat puluh enam.”
Tangis Jaka maupun Randu semakin kencang saat triplets di nyatakan sempurna.
“Kamu berhasil Ran.. kamu berhasil melahirkan mereka dengan selamat, kamu berhasil..” Jaka tempelkan dagunya di kening berkilap sebab keringat Randu.
“Terima kasih, terima kasih udah membawa mereka ke dunia, terima kasih telah sudi melahirkan mereka.. terima kasih, terima kasih buat segalanya Randu..”
Setelah itu, para perawat membawa triplets untuk Jaka dan randu gendong untuk pertama kalinya.
Jaka menggendong yang perempuan, satu-satunya princess di keluarga mereka.
Tangis Jaka yang tadinya mula reda sekarang pecah lagi saat sang bayi yang ada di gendongannya menggenggam telunjuknya erat seolah-olah tau kalau dia lagi bertemu dengan sang ayah.
Begitu pula dengan Randu, dia juga pecah tangisanya saat dua bayi yang berada di dadanya menggeliat nyaman dan meredakan tangisannya.
Jaka ambil nafas sebentar, lalu, “Kamu, Jiwaka Sadewata.” Katanya mengumumkan nama anak pertama sambil menatap bayi merah itu.
Lalu dia menatap bayi yang ada di gendongannya, “Kamu, princess, Senjana Sadewata.”
“Dan kamu, Ragandra Sadewata.”
Semua itu tak luput dari perhatian Randu yang lagi berusaha meredakan tangisannya.